Pendakian Gunung Bawakaraeng 2830 Mdpl - 2 malam Terjebak di Pos 5 Lembanna Akibat Cuaca Ektrem

Gunung Bawakaraeng bukan sekadar gunung. Ia adalah semacam altar yang ditinggikan oleh waktu, diliputi mitos, dan dikelilingi oleh jalur-jalur yang seolah menyimpan ribuan cerita yang belum selesai. Dan pada tanggal 28 Juni 2025, tepat pukul 14.34 WITA, kami memulai perjalanan yang akan menambahkan satu lagi cerita ke dalam tubuh besar narasi yang disebut Bawakaraeng.

Kami, sembilan orang dengan latar belakang dan karakter berbeda: saya sendiri, Amir, ; Ria; Kendedes; Aco; Pade; Asia; Kompas, Setya dan Awan.

Perjalanan dimulai dari Pos Register Lembanna, sebuah titik awal yang dikelola oleh Tata Djabbar. Ia bukan sekadar penjaga register, tapi semacam penjaga gerbang spiritual. Dengan sapaan khas dan gaya bicara pelan tapi menancap, Tata Djabbar memberi wejangan yang rasanya lebih cocok sebagai pembuka upacara adat ketimbang briefing pendakian. Tapi begitulah Bawakaraeng, gunung ini tidak hanya menuntut fisik, tapi juga adab.


Langit sore itu tampak gelisah. Kami tahu, ini bukan pendakian yang akan dimanja oleh cuaca. Tapi waktu telah ditentukan, dan langkah harus dimulai.

Jalur pertama, 1.710 meter menuju Pos 1, adalah pemanasan. Jalurnya landai, melewati perkebunan warga dan semak belukar. Tanah masih padat, tapi licin mulai terasa. Ria sempat terpeleset, disambut tawa oleh Aco yang langsung mengabadikan momen itu dengan kameranya. "Baru juga mulai, Ri," canda Awan.

Setibanya di Pos 1, kami hanya istirahat sebentar. Tak lebih dari lima menit. Langit mulai menebalkan awan, dan kami ingin memanfaatkan sisa terang sebanyak mungkin. Jalur berikutnya 1.100 meter ke Pos 2 mulai menanjak. Langkah melambat, suara obrolan berkurang, berganti dengan suara nafas dan tongkat trekking yang menancap ke tanah.

Menuju Pos 3, jaraknya hanya 235 meter, tapi terjal dan becek. Satu per satu kami mulai terkena guyuran hujan. Rintik awal yang menjelma deras dalam sekejap. Jas hujan keluar dari tas, beberapa dari kami terpaksa berhenti lebih lama untuk membungkus dry bag.


Dari Pos 3 ke Pos 4, kembali 1.100 meter, dan kini jalur sudah penuh genangan. Pade berjalan paling belakang, bukan karena lelah, tapi karena dia ingin memastikan tak ada yang tertinggal. Kami semua tahu, jika ada yang jatuh atau terluka, dia yang pertama merespons. Seperti biasa.

Menjelang Pos 5, hujan sudah jadi latar tetap. 1.100 meter terakhir sebelum Pos 5 adalah ujian mental. Tanah merah berubah jadi lumpur, akar pohon jadi jebakan, dan sinyal GPS mulai melemah. Tapi jam tangan saya menunjukkan kami masih on track. Akhirnya, pukul 17.30 WITA, kami tiba di Pos 5.

Pos 5 bukan pos dengan bangunan. Hanya dataran agak rata dengan beberapa pohon besar sebagai pelindung alami. Kami dirikan tenda dengan cepat. Aco segera memasak air untuk kopi dan mie. Aroma bawang goreng di tenda Aco jadi semacam penghibur paling manusiawi sore itu.


Kami sadar, hujan ini bukan hujan biasa. Dan malam itu, tenda kami dihantam oleh angin dan suara hujan yang tak berhenti sampai pagi. Pendakian baru dimulai, tapi Bawakaraeng sudah memberi salam pembuka yang penuh makna.

Hujan di gunung selalu membawa dua hal: kesejukan dan ketidakpastian. Setelah kami memasuki tenda di Pos 5, yang awalnya hanya akan menjadi tempat istirahat semalam, menjadi semacam markas darurat selama dua hari ke depan. Kami tidak merencanakan bermalam lebih dari satu malam, tapi Bawakaraeng memanggil kami untuk bersabar.

Malam pertama berlalu dengan iringan suara hujan di atas flysheet tenda. Kami semua berada dalam tenda masing-masing, saling mengirim lelucon lewat suara, tanpa perlu melihat wajah satu sama lain. Dalam gelap dan dingin, suara menjadi cahaya. Aco membuat lelucon tentang Ria yang selalu punya stok masker wajah bahkan di gunung. "Siapa tahu ada photoshoot dadakan," katanya.

Pagi tanggal 29 Juni datang tanpa banyak perubahan. Langit masih kelabu. Kabut turun rendah, menyelimuti sekitar Pos 5 dengan putih tebal seperti kapas basah. Kami semua sepakat untuk menunggu. Tidak ada gunanya memaksakan langkah saat visibilitas hanya beberapa meter, dan jalur ke Pos 6 terkenal dengan jalur sempit yang mengitari lereng.


Kami isi waktu dengan hal-hal sederhana: memasak, mengeringkan kaus kaki, menambal matras, dan tentu saja—bercerita. Pade mulai membuka kisah-kisah lama pendakianan. Kisah tentang tenda yang dibakar petir, atau pendaki yang nyasar tiga hari dan diselamatkan oleh kucing. Entah nyata atau bumbu cerita, semua cerita Pade selalu punya daya tarik.

Setya, yang merasa punya radar cuaca di dalam hatinya, mulai membuat prakiraan sendiri. "Kalau tekanan udara turun segini, biasanya hujan akan selesai besok pagi," katanya sambil menunjuk alat yang ia bawa—barometer kecil yang ia beli di marketplace. Kami angguk-angguk saja, meski tak sepenuhnya paham.

Hari kedua di Pos 5, suasana mulai berubah. Hujan tidak sederas kemarin, tapi kabut masih tebal. Kami mulai mendaki sebentar ke bukit kecil di belakang Pos 5 untuk mengecek cuaca. Dari atas, awan mulai menipis. Ada secercah cahaya di kejauhan, seperti janji yang belum ditepati.

Tanggal 30 Juni pagi, kabut naik pelan, seperti tirai panggung yang dibuka. Matahari, yang selama dua hari seperti lupa tugasnya, mulai menyapa malu-malu. Kami tidak menunggu aba-aba lagi. Pukul 10.30 WITA, semua barang dikemas. Jas hujan disimpan, dan langkah kembali dimulai. Dua hari di Pos 5 bukan waktu yang sia-sia. Di situlah kami menyadari bahwa pendakian bukan selalu tentang bergerak maju. Kadang, berhenti adalah bentuk paling dalam dari menghormati alam.


Perjalanan kami kembali dimulai dari Pos 5 setelah dua hari tertahan oleh hujan dan kabut. Jam menunjukkan pukul 10.30 WITA pada tanggal 30 Juni 2025. Langkah pertama setelah jeda panjang itu terasa ganjil—seperti mencoba berjalan setelah lama duduk bersila. Tapi semangat baru telah menyala.

Tujuan hari ini: mencapai Pos 10, tempat kami akan mendirikan tenda dan bermalam sebelum summit attack keesokan paginya. Jalur ini cukup panjang dan penuh variasi, total sekitar 5,75 kilometer dengan kontur naik-turun dan kejutan-kejutan khas pegunungan Sulawesi Selatan.

Dari Pos 5 ke Pos 6, jaraknya 1.000 meter. Tanah mulai menanjak dengan kemiringan yang stabil. Vegetasi di sekitar jalur mulai berubah. Lumut-lumut semakin tebal, batang-batang pohon lebih kurus namun tinggi menjulang, menciptakan semacam lorong hutan. Ria kembali jadi yang paling depan, ditemani Kompas yang sesekali menoleh ke GPS-nya—meski lebih sering menebak berdasarkan ingatan.

Satu jam berlalu, kami sampai di Pos 6. Tidak ada papan penanda, hanya celah datar di pinggir jalur dengan bekas-bekas tenda dari pendaki sebelumnya. Kami tak berhenti lama. Masih banyak jalur menunggu.

Menuju Pos 7, 700 meter berikutnya, jalur mulai mengarah ke lereng curam. Tanahnya lembab dan berakar, jadi kami harus ekstra hati-hati. Asia tergelincir kecil, tapi sempat menahan diri dengan tongkat trekking. "Hampir jadi viral," celetuk Awan sambil tertawa. Jalur ini memang lebih teknis—kami berjalan satu per satu dengan jeda cukup jauh untuk menjaga keseimbangan tim.

Pos 7 kami capai sekitar pukul 13.00 WITA. Kami mulai merasakan penurunan suhu yang signifikan. Kabut kembali muncul, kali ini tak selebat sebelumnya, tapi cukup membuat kami harus saling menyapa untuk memastikan semua masih berdekatan.

Jalur ke Pos 8 sejauh 1.700 meter adalah yang paling panjang dan melelahkan hari itu. Namun juga paling indah. Hutan perlahan terbuka. Kami mulai melihat langit, bahkan siluet pegunungan di kejauhan. Vegetasi berubah—pohon pinus dan cemara mendominasi. Udara jadi lebih kering dan segar. Kami duduk sejenak di atas batu besar, menikmati bekal ringan: coklat, kurma, dan biskuit.

Aco yang selama ini jadi juru masak, diam-diam menyimpan kejutan. Ia keluarkan termos berisi kopi hitam panas. Di tengah perjalanan yang mulai menyedot energi, kopi terasa seperti ramuan ajaib. "Ini bukan sembarang kopi," katanya, "ini kopi Toraja aslinya."

Perjalanan lanjut ke Pos 9 (500 meter). Jalurnya mulai menurun sedikit, lalu naik kembali. Akar-akar pohon seperti anak tangga alami. Kami mulai merasakan beban tas lebih berat, mungkin karena tubuh yang mulai lelah. Tapi setiap melihat satu pos terlampaui, ada perasaan kemenangan kecil.

Kami capai Pos 9 sekitar pukul 15.30 WITA. Beberapa dari kami mulai mengganti kaus basah. Angin mulai bertiup lebih kencang. Kami tahu, puncak semakin dekat, tapi hari juga mulai menua.

850 meter terakhir menuju Pos 10 adalah pendakian senyap. Semua fokus menjaga tenaga. Langkah makin lambat tapi mantap. Jalur mengarah ke camp area yang lebih terbuka. Kabut mulai menyelimuti lagi, menandakan suhu mulai turun tajam menjelang sore.

Pukul 17.00 WITA, akhirnya kami tiba di Pos 10, area perkemahan yang lebih luas dan landai. Beberapa tempat sudah ditandai bekas-bekas tenda lama. Kami segera bagi tugas. Saya dan Awan mendirikan tenda. Aco dan Asia menyiapkan makan malam. Kompas dan Setya mencari sumber air terdekat.

Angin malam mulai terasa menggigit. Kami makan dalam tenda, berdesakan tapi hangat. Mie rebus dan telur menjadi menu utama malam itu. Tak ada yang protes. Di ketinggian seperti ini, rasa jadi lebih sederhana.

Malam di Pos 10 hening. Hanya suara hembusan angin dan sesekali tawa kecil dari tenda-tenda. Kami tahu, besok adalah hari penentu. Hari ketika semua langkah, kesabaran, dan doa, akan mengantarkan kami ke atap tertinggi Gunung Bawakaraeng.


Tanggal 1 Juli 2025. Suhu di Pos 10 saat fajar tidak lagi sekadar dingin—ia menggigit. Embun membungkus tenda kami seperti selimut beku. Pagi itu datang tanpa warna jingga, hanya putih pucat dan langit kelabu. Tapi tidak ada keraguan. Hari ini adalah hari puncak.

Kami bangun pukul 04.30 WITA. Ria sudah lebih dulu keluar dari tenda, menyeduh air hangat sambil menggosok tangan. Aco sibuk menyusun ransum ringan. Kami tidak membawa semua barang, hanya yang penting: air, makanan ringan, jas hujan, dan kamera. Berat tas jadi separuh lebih ringan. Tapi degup jantung? Jauh lebih berat.

Sarapan kami pagi itu bukan tentang rasa, tapi tentang tenaga: oat instan, telur rebus, dan kopi hitam. Asia sempat membuat lelucon, "Kalau kita enggak kuat naik, kita tinggal makan kopi mentah langsung." Semua tertawa.

Pukul 06.00 WITA, langkah awal summit attack dimulai. Jalurnya menanjak tajam. Kami menapaki semak rendah dan jalur bebatuan yang kadang licin, kadang rapuh. Napas menjadi pendek, dan percakapan perlahan menghilang. Hanya suara langkah dan dengus nafas yang bersahutan.

Langkah kami lambat tapi konstan. Di ketinggian, oksigen tipis, dan tiap langkah seolah menantang logika tubuh. Tapi di situlah letak pendakian yang sebenarnya. Setiap langkah bukan hanya ke atas, tapi juga ke dalam.

Sekitar pukul 08.00 WITA, kabut mulai menipis. Di kejauhan, kami melihat bayangan puncak. Terasa dekat, tapi kami tahu, gunung suka menipu. Beberapa tanjakan curam menanti. Kompas memimpin, membuka jalur dengan hati-hati. Kami saling memberi jarak dan motivasi.

Awan—si bungsu tim—menjadi motor semangat. Dia terus menyemangati kami, bahkan sempat melantunkan lagu Mars pendaki versi remix: "Naik-naik ke puncak gunung... bawa cinta dan logistik penuh..."

Menjelang pukul 09.30 WITA, kami sampai di bibir puncak. Hanya tinggal satu tanjakan lagi. Nafas tercekat. Tubuh lelah. Tapi semangat meluap. Saya diam sejenak, menatap ke bawah. Jalur yang sudah kami lewati begitu panjang. Pos demi pos, langkah demi langkah. Semua menyatu menjadi garis tak terlihat yang mengikat hati kami pada gunung ini.

Pukul 10.15 WITA, kami akhirnya berdiri di Puncak Gunung Bawakaraeng (2.830 mdpl).




Angin menerpa wajah kami dengan keras, tapi tak ada yang peduli. Kami saling berpelukan, saling tepuk tangan. Kamera Aco mulai beraksi. Kompas mencatat koordinat GPS. Pade duduk di batu besar, memejamkan mata seperti sedang berdialog dengan sesuatu yang tak kasatmata.

Bendera kecil yang kami bawa dikibarkan. Di balik kabut yang tipis, kami bisa melihat cakrawala membentang. Pegunungan jauh tampak seperti ombak beku. Langit mulai cerah, seolah gunung memberi restu setelah segala usaha.

Tidak ada kata yang bisa benar-benar menggambarkan momen itu. Hanya perasaan syukur, bangga, dan... lega. Kami semua sampai dengan selamat. Tidak ada cedera, tidak ada kendala besar. Hanya rasa lelah yang setimpal dengan hadiah yang kami terima: berdiri di atap Sulawesi Selatan, di atas semua awan, di atas semua rasa ragu.

Kami habiskan sekitar 30 menit di puncak. Foto diambil. Doa dipanjatkan. Cerita dibisikkan ke langit. Lalu, perlahan, kami mulai turun. Karena gunung, sebagaimana hidup, tidak pernah soal puncak saja—tapi bagaimana kita kembali dengan selamat, membawa pulang cerita, bukan luka.

Saat kaki melangkah turun, saya menoleh sekali lagi. Gunung Bawakaraeng berdiri megah, seakan berbisik: "Kalian telah lulus satu pelajaran. Tapi masih banyak bab lain menanti."

Dan kami percaya. Karena seperti yang dikatakan oleh Pade malam sebelumnya:

"Setiap gunung itu bukan tempat kita menaklukkan, tapi tempat kita belajar rendah hati."

Sampai jumpa di pendakian berikutnya.

Posting Komentar

0 Komentar