Pengalaman Horor Saat Solo Hiking di Sebuah Gunung di Wonosobo

Pendakian gunung selalu menjadi aktivitas yang sarat dengan petualangan, keindahan alam, dan pengalaman batin. Namun, di balik pesona puncak yang memikat, pendakian juga menyimpan sisi lain yang penuh misteri. Banyak pendaki yang membagikan kisah-kisah di luar nalar, mulai dari suara-suara aneh, bayangan yang tak terlihat jelas, hingga pengalaman spiritual yang sulit dijelaskan secara logis.

Artikel ini mengisahkan pengalaman nyata seorang pendaki yang melakukan solo hiking di Gunung K****, salah satu gunung populer di wilayah Wonosobo, Jawa Tengah.** Pendakian yang dilakukan pada bulan Mei 2019 ini awalnya hanya dimaksudkan sebagai perjalanan rutin, namun berubah menjadi pengalaman horor yang tak terlupakan.

Persiapan dan Perjalanan Menuju Basecamp

Pada awal tahun 2019, sang pendaki memutuskan untuk kembali menapaki jalur pendakian Gunung K******. Gunung ini memang memiliki daya tarik tersendiri—pemandangan kebun teh yang luas, akses jalan yang relatif mulus, serta panorama Wonosobo yang memanjakan mata. Hingga tahun tersebut, ia sudah empat kali mendaki gunung yang sama. Pengalaman yang berulang membuatnya merasa cukup percaya diri untuk melakukan pendakian seorang diri.

Perjalanan dimulai dari Semarang pada pukul 10.00 pagi. Dengan kondisi jalan yang baik, ia tiba di basecamp (BC) sekitar pukul 14.30 WIB. Loket pendakian saat itu masih mematok tarif masuk yang relatif terjangkau, yakni sekitar Rp15.000. Setelah melakukan registrasi dan persiapan singkat, pendakian dimulai tepat pukul 15.00 WIB.

Trek Awal: Kebun Teh yang Sunyi

Jalur awal dari basecamp menuju Pos 1 didominasi oleh hamparan kebun teh. Jarak tempuhnya sekitar satu setengah jam. Meski cuaca cerah dan jalur tidak terlalu sulit, suasana yang dihadapi berbeda dari pendakian sebelumnya. Kabut tipis menyelimuti area kebun teh, menambah kesan sepi dan sedikit menegangkan. Di balik punggungnya, pemandangan kota Wonosobo tampak samar-samar, berpadu dengan kebun teh yang seolah tanpa penghuni.

Di Pos Istana, sang pendaki bertemu dengan sepasang suami istri warga lokal. Keduanya tampak sedang beristirahat sambil membawa kayu bakar. Perbincangan ringan pun terjadi. Dalam bahasa Jawa, sang bapak bertanya:

“Lee, yaopo sampean iku dewean mrene?”
Nak, kenapa kamu sendirian ke sini?

“Kula badhe mendaki, Pak.”
Saya mau mendaki, Pak.

“Sampean wis tau mrene tah?”
Kamu sudah pernah ke sini sebelumnya?

“Nggih Pak, kula sampun teng mriki beberapa kali.”
Ya Pak, saya sudah beberapa kali ke sini.

“Yauwes ati-ati yo, Lee. Ojo jupuk sing dudu hakmu, ojo tinggalno sing iku dadi kewajibanmu.”
Hati-hati ya, Nak. Jangan ambil apapun yang bukan hakmu, dan jangan tinggalkan apapun yang menjadi kewajibanmu.

Pesan sederhana itu terasa seperti petuah biasa. Namun, kalimat larangan untuk tidak mengambil yang bukan haknya dan tidak meninggalkan kewajiban kelak terasa mengandung makna yang lebih dalam.

Pintu Rimba dan Kejanggalan Pertama

Menjelang pukul 17.00 WIB, sang pendaki memasuki area pintu rimba—sebuah gerbang alami berupa pepohonan lebat yang menandai dimulainya jalur hutan. Di dekat pintu ini, terdapat tulisan basmallah dan shalawat yang sering dibaca pendaki sebelum masuk sebagai bentuk doa dan permohonan perlindungan. Kabut yang semakin pekat dan suasana hutan yang gelap membuat bulu kuduk berdiri. Ia pun berdoa sebelum melangkah lebih jauh.

Saat hendak masuk, kejadian tak terduga membuatnya terdiam. Ia melihat kembali pasangan suami istri yang sebelumnya ditemuinya di Pos Istana. Anehnya, keduanya datang dari arah atas jalur pendakian menuju pintu rimba, padahal seharusnya mereka sudah turun lebih dulu.

Dengan keheranan, ia bertanya, “Bukannya bapak tadi sudah sampai Pos 1?”
Namun, pasangan tersebut menjawab dengan tenang, “Kamu siapa ya, Nak? Itu motor kami di bawah. Maaf, kami harus turun karena sudah sore.”

Pasangan itu kemudian berboncengan dengan motor modifikasi menuju perkampungan. Kebingungan melanda—bagaimana mungkin orang yang tadi ditemui di atas, kini muncul dari arah yang berlawanan? Meski diliputi rasa was-was, ia melanjutkan perjalanan.

Suara Adzan dan Kegelapan Hutan

Tak lama setelah kejadian itu, suara adzan Maghrib terdengar menggema dari kejauhan. Sang pendaki berhenti sejenak untuk beristirahat dan menyalakan headlamp. Kegelapan hutan semakin pekat, membuat penyesalan muncul karena memutuskan untuk mendaki seorang diri. Setelah adzan selesai, ia melanjutkan perjalanan dengan langkah lebih cepat.

Pukul 18.45 WIB, suara riuh terdengar dari arah atas jalur. Dalam hati, ia sempat menduga ada rombongan pendaki lain. Benar saja, lampu-lampu kecil tampak berkelip di atas Pos 1. Ia mempercepat langkah dan akhirnya tiba di Pos 1, di mana ia bertemu tiga pendaki lain: Bimo, Yus, dan Risna, pendaki lokal asal Wonosobo. Pertemuan ini membawa kelegaan tersendiri karena akhirnya ia tidak harus melanjutkan perjalanan dalam kesunyian.

Namun, keanehan kembali muncul. Bimo berkata bahwa ia sempat melihat banyak lampu di belakang sang pendaki. Padahal, sepanjang perjalanan, ia merasa benar-benar sendirian. Pernyataan ini semakin menambah ketegangan.

Aroma Melati dan Hembusan Angin Dingin

Keempat pendaki itu kemudian melanjutkan perjalanan bersama. Saat mendekati Pos 2, hembusan angin dingin tiba-tiba menerpa wajah mereka. Aroma bunga melati yang sangat kuat menyelimuti jalur. Seketika, suasana hening. Dalam tradisi Jawa, aroma melati sering dikaitkan dengan kehadiran makhluk gaib. Tanpa banyak bicara, mereka mempercepat langkah menuju Pos 3.

Tiba di Pos 3 sekitar pukul 20.10 WIB, ketegangan semakin terasa. Dari arah puncak terdengar suara samar seperti gemerincing loncengkrincing… krincing…—yang bergerak mendekat. Suara itu terdengar teratur, seolah berasal dari iring-iringan sesuatu. Semua pendaki terdiam, menutup mata, dan menahan napas hingga suara itu perlahan menjauh.

Keputusan untuk Terus Mendaki

Dalam situasi penuh ketegangan, rombongan harus mengambil keputusan: turun atau melanjutkan pendakian. Turun berarti kemungkinan bertemu kembali dengan sumber suara misterius. Akhirnya mereka sepakat untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jalur yang semakin terjal dengan kemiringan hingga 60 derajat tidak menyurutkan langkah mereka, meski rasa takut terus menghantui.

Pukul 21.00 WIB, mereka akhirnya tiba di puncak Gunung K******. Tidak ada pendaki lain selain mereka berempat. Mereka mendirikan dua tenda yang disatukan di jalur menuju kawah mati. Suasana dingin puncak malam itu sedikit terobati dengan kegiatan memasak bersama—bakso bumbu balado, nasi, serta mie instan kuah dengan sayur dan sosis menjadi santapan sederhana yang hangat.

Malam Mencekam di Puncak Gunung

Setelah berbincang hingga pukul 22.00 WIB, semua pendaki memutuskan untuk beristirahat. Namun, ketenangan tidak berlangsung lama. Sekitar pukul 02.00 dini hari, Yus membangunkan sang pendaki karena mendengar suara gemerincing yang sama seperti sebelumnya. Kini suara itu terdengar lebih jelas, disertai dentuman gong dan derap langkah yang beriringan.

Suasana puncak yang gelap gulita dengan angin kencang membuat mereka hanya bisa saling berdekatan di dalam tenda. Tak ada yang berani mengintip keluar. Mereka hanya menutup sleeping bag, berpura-pura tidak mendengar, sambil menunggu suara itu perlahan menjauh ke arah kawah mati.

Pagi yang Menenangkan

Pagi hari pukul 05.30 WIB, cahaya matahari mulai menembus kabut. Sang pendaki bangun dengan perasaan lega luar biasa. Saat membuka tenda, ia disambut pemandangan spektakuler: lautan awan di bawah kaki, sinar matahari keemasan, dan udara segar yang hanya bisa dirasakan di puncak gunung. Dengan secangkir kopi panas di tangan, ia hanya bisa bersyukur telah melalui malam yang mencekam tanpa gangguan fisik.

Setelah sarapan bersama, keempat pendaki memutuskan untuk turun pukul 09.00 WIB. Perjalanan turun berjalan lancar tanpa kejadian aneh. Namun, pengalaman malam itu tetap membekas sebagai salah satu pendakian paling menegangkan dalam hidupnya.

Makna dan Pelajaran dari Pengalaman Horor

Kisah ini bukan hanya cerita seram yang menguji nyali. Ada beberapa pelajaran penting yang dapat diambil:

  1. Hormati Alam dan Adat Setempat Pesan warga lokal untuk tidak mengambil yang bukan hak dan tidak meninggalkan kewajiban menjadi pengingat penting. Gunung bukan hanya objek wisata, tetapi juga ruang hidup makhluk lain—baik nyata maupun tak kasat mata.
  2. Pentingnya Perencanaan dan Keselamatan Solo hiking membutuhkan persiapan mental dan fisik yang matang. Meski memiliki pengalaman, pendaki tetap harus mempertimbangkan risiko, terutama pendakian malam hari yang rawan kejadian tak terduga.
  3. Fenomena Alam atau Gaib Suara-suara aneh, aroma melati, dan kejadian di luar logika bisa jadi hanyalah fenomena alam seperti hembusan angin, pergeseran tanah, atau satwa liar. Namun, masyarakat lokal percaya bahwa gunung adalah tempat yang memiliki dimensi spiritual.
  4. Kekuatan Kebersamaan Pertemuan dengan tiga pendaki lokal menjadi penyelamat mental. Kebersamaan memberikan rasa aman dan keberanian untuk menghadapi situasi menegangkan.

Pendakian di Gunung K****** Wonosobo pada Mei 2019 menjadi perjalanan yang penuh makna sekaligus menguji keberanian. Meski diliputi berbagai kejadian misterius, sang pendaki berhasil mencapai puncak dan kembali dengan selamat. Kisah ini menjadi pengingat bahwa di balik keindahan gunung, selalu ada sisi alam yang tak bisa dijelaskan sepenuhnya dengan logika manusia.

Bagi para pendaki, pengalaman ini adalah pelajaran bahwa alam semesta memiliki rahasia yang patut dihormati. Setiap langkah di jalur pendakian bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin yang menuntut kerendahan hati, rasa syukur, dan kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta

Posting Komentar

0 Komentar