Hari sudah larut ketika kami memulai perjalanan ini. Jam menunjukkan pukul 23.00 WITA, Jumat malam tanggal 6 Juni 2025. Kota Makassar yang biasanya sibuk perlahan mereda, lampu-lampu jalan menyala redup, dan udara mulai beraroma petualangan. Di sinilah kisah ini dimulai, dengan tujuh orang yang tidak hanya membawa ransel dan perlengkapan mendaki, tetapi juga membawa mimpi, rasa ingin tahu, dan harapan akan petualangan yang tak terlupakan.
Aku, Ria, Esa, Kendedes, Pade,
Asia, dan Ai, berkumpul di titik keberangkatan. Tidak ada sambutan meriah,
hanya suara klakson angkot lewat dan tawa lepas kami yang mengisi malam. Setiap
dari kami memiliki peran dalam ekspedisi ini, tetapi lebih dari itu, kami
adalah keluarga kecil yang saling melengkapi. Ria dengan semangatnya yang
menggebu, Esa si pemikir sunyi, Kendedes yang penuh determinasi, Pade yang
bijak tapi jenaka, Asia si penyelaras logistik, dan Ai sang pencatat sejarah
perjalanan dengan kameranya.
Perjalanan darat menuju Basecamp Lengkese
kami tempuh dengan kendaraan sewaan. Jalanan berliku, lampu kendaraan memantul
di aspal basah, dan lagu-lagu nostalgia dari radio tua menjadi latar suara. Dua
jam lebih perjalanan ditempuh dengan berbagai obrolan, mulai dari strategi
pendakian sampai bahasan tak penting seperti siapa yang paling sering lupa bawa
sendok saat camping.
Jam menunjukkan pukul 02.00 dini hari saat
kami tiba di Basecamp Lengkese. Tempat ini sunyi, hanya terdengar gesekan
dedaunan dan gelegar lembut angin malam. Kami disambut oleh dingin yang tajam,
cukup untuk membuat jaket outdoor terasa seperti selimut tipis. Tapi justru di
tempat inilah semangat kami mulai membuncah. Basecamp ini bukan hanya tempat
persinggahan; ia adalah titik nol perjalanan kami, tempat di mana segalanya
dimulai.
Kami segera menggelar alas tidur, beberapa
memilih menginap di dalam Rumah kayu , sisanya rebah di luar dengan sleeping
bag masing-masing. Tak banyak percakapan malam itu, hanya gumaman lelah dan
sedikit candaan. Tidur pun datang perlahan, ditemani lagu hening dari gunung
yang menanti esok.
Ekspedisi ini bukanlah perjalanan biasa. Ia
adalah upaya mengenal alam lebih dalam, menjalin kembali hubungan dengan tanah
leluhur, dan memahami diri sendiri lewat jalur-jalur terjal yang akan kami
tapaki. Kami tahu bahwa yang menanti bukan sekadar Danau Tanralili atau Lembah
Lohe, tetapi pengalaman yang akan merobek kenyamanan dan menyulam kenangan.
Di balik malam yang senyap dan suhu yang
menggigit, ada getaran harap dalam hati kami masing-masing. Harap bahwa esok
akan menjadi hari yang mengubah cara kami memandang dunia. Satu malam di
Lengkese terasa seperti pembuka dari sebuah buku petualangan, dan kami baru
saja menulis halaman pertamanya.
Pagi 7 Juni 2025 datang tanpa basa-basi.
Kabut masih menggantung rendah di sekitar basecamp ketika kami mulai
mempersiapkan segala hal untuk tracking menuju Danau Tanralili. Suara gesekan
ritsleting tenda, bunyi air mendidih untuk kopi sachet, dan aroma mie instan
menjadi orkestrasi pagi khas pendaki. Meski lelah masih menggantung di pundak,
semangat menatap jalur pendakian jauh lebih kuat.
Jejak di Tanah Tinggi – Danau Tanralili
Menyambut
Ransel dikencangkan, sepatu disesuaikan,
dan langkah pertama pun diambil sekitar pukul 10.30 wita. Jalur menuju
Tanralili tidaklah mudah, namun juga bukan yang paling sulit. Ia menantang,
dengan bebatuan licin dan akar-akar pohon yang tersembunyi siap menjegal. Kami
saling membantu, sesekali berhenti untuk menyesap udara segar atau sekadar
meluruskan punggung. Setelah memasuki gerbang tanjakan 1000 penyesalan, hujan turun
dengan deras, namun kami terus berjalan, baru setelah melewati longsoran baru
di dekat pinus 3 kami membangun bivak darurat untuk berteduh sekaligus makan
siang karena jam sudah menunjukkan pukul 12 lewat.
Perjalanan ini bukan sekadar soal fisik,
tapi juga soal mental. Bagaimana menjaga semangat tetap menyala saat jalur
menanjak tak kunjung habis, atau ketika kaki mulai berteriak lelah. Tapi semua
itu terbayar dengan pemandangan yang luar biasa. Di beberapa titik, lembah
menganga memperlihatkan hamparan hutan lebat. Burung-burung lokal berterbangan
rendah, seolah ikut memberi semangat.
Sekitar pukul 14.42, kami berjalan kembali karena hujan sudah mulai reda. kami tiba di Danau Tanralili Pukul 17.00 Wita. Letaknya tersembunyi, seolah disengaja oleh alam agar hanya yang sungguh-sungguh mencari yang bisa menemukannya. Danau ini bukan sekadar badan air yang tenang, tapi seperti cermin raksasa yang memantulkan langit dan gunung di sekitarnya. Hening. Damai. Sakral.
Kami memilih area berumput dekat danau
untuk mendirikan tenda. Aktivitas dilanjutkan dengan makan siang terlambat,
meregangkan otot, dan tentu saja sesi foto dari Ai yang tak henti mengabadikan
setiap momen. Tidak ada sinyal, tidak ada notifikasi. Hanya suara alam dan tawa
kami yang bersahut-sahutan. Menjelang malam, suhu mulai turun drastis. Pade,
asia dan ai kemudian meramu kapurung, masakan tradisional yang berasal dari
palopo yan akan menjadi makan malam kami.
Malam itu kami tidur dalam tenda dengan
suara air danau sebagai pengantar. Di luar, bintang-bintang seolah menjaga. Di
dalam, tubuh kami lelah tapi bahagia. Kami tahu esok akan jadi hari yang lebih
panjang, tapi malam itu, di sisi Danau Tanralili, hidup terasa cukup.
Lohe – Negeri Dongeng Sulawesi
Pagi di Danau Tanralili, 8 Juni 2025,
membawa suasana yang tenang dan sejuk. Matahari mulai muncul perlahan dari
balik bukit, sinarnya memantul di permukaan danau seperti lukisan hidup. Udara
pagi terasa bersih, seperti belum pernah disentuh polusi. Kami bangun dengan
perasaan segar meski tidur semalam agak terganggu oleh suhu dingin yang
menyusup hingga ke tulang.
Pagi itu tidak tergesa-gesa. Kami sarapan
dengan menu seadanya—roti, telur rebus, kopi hitam sachet, dan tentu saja,
obrolan ringan yang tak pernah absen. Pukul 10.00 WITA, kami memulai perjalanan
menuju Lembah Lohe. Rute ini dikenal cukup menantang karena medan yang
berubah-ubah dan jalur yang kurang jelas. Namun, rasa penasaran mendorong kami
untuk melangkah.
Perjalanan menuju Lohe memakan waktu
sekitar tiga jam. Jalurnya menurun lalu menanjak, melewati hutan basah, semak
berduri, dan batu-batu besar yang harus dilompati. Tidak sedikit dari kami yang
terpeleset atau tersangkut ranting. Tapi seperti biasa, setiap kesulitan
diatasi dengan tawa dan saling menyemangati. Ai bahkan sempat jatuh terduduk
dan berkata dengan wajah serius, "Ini bukan tracking, ini gladi resik buat
acara reality show survival."
Di tengah perjalanan, kami menemukan aliran
sungai kecil yang jernih. Kami berhenti sejenak untuk mengisi botol dan mencuci
muka. Airnya dingin dan menyegarkan. Ria berkata sambil bersendawa puas,
"Kalau air beginian dijual di kota, pasti dikasih label 'premium spring
water', padahal ini gratis."
Sekitar pukul 13.00 siang, tibalah kami di
Lembah Lohe. Tempat itu seperti dunia yang terpisah. Lembah terbuka luas dengan
padang rumput hijau yang dikelilingi oleh dinding tebing tinggi. Kabut tipis
melayang di atas tanah, memberikan suasana magis yang tak bisa dijelaskan
dengan kata-kata. Sunyi, hanya suara angin dan langkah kami yang terdengar.
Kami duduk berderet memandangi lembah.
Tidak ada dari kami yang berbicara selama beberapa menit. Seolah semua sepakat
bahwa tempat ini terlalu sakral untuk diganggu dengan suara. Rasanya seperti
masuk ke dalam pelukan alam yang paling dalam. Sebuah ketenangan yang tidak
bisa ditemukan di kota manapun.
Ai mulai mengambil gambar dari berbagai
sudut, sementara Pade mencatat sesuatu di bukunya. Kendedes dan Asia
mengeksplor sisi lembah yang ditumbuhi bunga liar. Aku, Amir, hanya duduk dan
merenung. Mengingat semua perjalanan, semua tawa dan lelah yang kami lalui
hingga sampai ke titik ini. Lembah Lohe adalah titik tengah dari ekspedisi ini,
secara harfiah maupun batin.
Jam 14.30 kami mulai persiapan untuk
kembali. Namun seperti biasa, saat harus meninggalkan tempat indah, selalu ada
rasa berat. Kami berjalan perlahan, sesekali menoleh ke belakang. Lembah itu
tampak semakin jauh, seperti ingin menyimpan rahasianya sendiri.
Sekitar pukul 16.00 kami tiba kembali di
Danau Tanralili. Sisa tenaga digunakan untuk memasak, mengemasi perlengkapan,
dan beristirahat singkat. Kami tak banyak bicara malam itu. Mungkin karena
lelah, atau mungkin karena hati kami masih tertinggal di Lohe.
Pukul 20.00, kami mulai menuruni jalur
kembali ke Basecamp Lengkese. Senter-senter kami menyinari jalan sempit di
tengah malam. Meski gelap dan licin, langkah kami stabil. Tujuan kami jelas:
kembali dengan selamat, membawa semua cerita. Tepat pukul 22.00 kami sampai di
Basecamp Lengkese. Tubuh terasa remuk, tapi jiwa kami utuh. Ternyata perjalanan
belum selesai.
Kendala, Kopi Dingin, dan Pulang dengan Cerita
Malam itu, di Basecamp Lengkese, kami
merasa telah menuntaskan perjalanan besar. Namun seperti dalam kisah klasik,
penutup yang sempurna selalu diberi sedikit bumbu kejutan. Rencana awal kami
adalah beristirahat sejenak di basecamp, lalu langsung kembali ke Makassar
dengan kendaraan yang sudah dijadwalkan menjemput. Namun, alam dan takdir
tampaknya punya naskah sendiri.
Pukul 22.00 kami sudah siap. sepatu sudah
longgar, dan kantuk mulai menyergap. Tapi kendaraan yang seharusnya menjemput
kami tak kunjung datang. Awalnya kami bersabar. Satu jam lewat, kami mulai
menelepon. Dua jam kemudian, sinyal mulai bermain petak umpet dan suasana
berubah dari tenang menjadi resah.
Tiga jam berlalu. Basecamp terasa seperti
terminal yang ditinggalkan. Hanya suara serangga dan angin lembah yang
menemani. Kami mulai pasrah dan tertawa karena tak ada pilihan lain. Beberapa
dari kami kembali membuka matras dan tidur ala kadarnya. Lainnya menunggu
sambil duduk di atas batu besar, menyusun kembali cerita perjalanan dari awal
hingga kini. Ria bahkan sempat menggambar sketsa tenda di buku notes kecilnya.
Pukul 01.00 WITA dini hari tanggal 9 Juni,
akhirnya kendaraan datang. Supirnya ternyata ada kendala, kendala yang disengaja—terpaksa
mobil temannya yang membawa kami ke Makassar. Namanya juga ekspedisi, selalu
ada variabel tak terduga.
Dalam perjalanan pulang, kebanyakan dari
kami terlelap. Jalanan sepi, dan hanya deru mesin serta sesekali bunyi jendela
yang bergetar yang terdengar. Tapi meski mata tertutup, pikiran kami masih
tinggal di Tanralili dan Lohe. Perjalanan ini bukan hanya perjalanan fisik,
tapi juga perjalanan batin. Kami bukan lagi tujuh orang yang sama seperti saat
berangkat.
Tepat pukul 03.30 pagi kami tiba kembali di
Makassar. Kota masih gelap, lampu jalan menyala malu-malu, dan kehidupan kota
belum benar-benar dimulai. Tapi bagi kami, ini adalah akhir dari sebuah epik
kecil yang akan dikenang dalam waktu lama. Ekspedisi Danau Tanralili – Lembah
Lohe ini bukan sekadar catatan jarak dan waktu. Ia adalah kisah tentang
persahabatan, ketangguhan, kejutan, dan keindahan yang tidak akan bisa
dituliskan seluruhnya. Ia harus dialami, dirasakan, dan disyukuri. Dan kini,
cerita ini pun selesai ditulis. Tapi siapa tahu, lembar berikutnya sudah
menunggu di balik punggung gunung yang lain.
0 Komentar